Agar kita dapat memahami kisah masuknya Abdurrahman bin Muawiyah ke bumi Andalusia, kita harus mundur sedikit ke belakang hingga tahun 132 H (750 M), yaitu pada kejatuhan Daulah Bani Ummayah di Timur. Pihak Abbasiyun telah membunuh seluruh orang yang dianggap layak menjadi khalifah dari kalangan Ummawiyun. Mereka membunuh para pangeran, putra-putra pangeran dan cucu-cucu para pangeran tersebut, kecuali sedikit saja yang tidak terjangkau oleh pedang-pedang mereka.
Diantara mereka yang tidak terjangkau oleh pedang-pedang Bani Abbasiyah itu adalh Abdurrahman bin Muawiyah, cucu dari Hisyam bin Abdul Malik yang berkuasa pada tahun 105 H (723 M) hingga tahun 125 H (743 M).
Abdurrahman tumbuh besar di istana Kekhilafahan Umawiyah. Maslamah bin Abdul Malik, sang penakluk besar, paman ayahnya, melihatnya sebagai orang yang layak memegang kekuasaan dan kepemimpinan serta mempunyai keunggulan dan kecerdasan. Abdurrahman mendengarkan langsung itu darinya. Hal itu tentu saja memberikan pengaruh positif dalam dirinya, yang buahnya akan tampak beberapa waktu kemudian.
Ketika Abdurrahman memasuki masa pemudanya, kaum Abbasiyun melakukan pemberontakan terhadap pihak Umawiyun. Mereka menyerang Ibu Kota Daulah Umawiyah di Syam dan membunuh semua anggota kerajaan hingga tidak ada lagi orang dari pihak Umawiyah yang berfikir untuk menjadi Khalifah. Mereka membunuh semua orang yang telah baligh dari kalangan keluarga Bani Umawiyah, tetapi tidak membunuh kaum wanita dan anak-anak. Ini terjadi pada tahun 132 H.
MASA PELARIAN
Abdurrahman bin Muawiyah melarikan diri dari tempat tinggalnya di desa Dier Khinan yang termasuk dalam wilayah provinsi Qansarin di Syam, menuju salah satu desa di Irak di tepian sungai Eufrat. Namun ternyata pelarian Abdurrahman ini di ketahui oleh pihak Abbasiyah. Maka suatu ketika, saat ia duduk di rumahnya, tiba-tiba masuklah putranya yang berusia empat tahun dengan menangis keras. Saat itu Abdurrahman sedang mengalami sakit dan terbaring di sudut rumah, melihat anaknya menangis ia pun bangkit dan berusaha menenangkan anaknya tersebut. Akan tetapi anaknya tetap saja menangis dan tidak mau diam. Abdurrahman bin Muawiyah pun berdiri dan bermaksud untuk keluar dari rumahnya. Ternyata di luar rumah, ia melihat sudah banyak sekali panji-panji hitam lambang Daulah Abbasiyah, yang bahkan telah memenuhi desa tersebut. Ia pun sadar, bahwa dirinyalah yang mereka cari-cari. Abdurrahman pun kembali mauk kedalam lalu membawa saudaranya Hisyam bin Muawiyah dengan semua uang yang ia punya, ia meninggalkan semua kerabat wanita dan anak-anaknya bahkan semuanya, karena ia tahu bahwa mereka tidak akan tersentuh apapun.
Abdurrahman melarikan diri bersama saudaranya Hisyam bin Muawiyah menuju Sungai Eufrat. Tetapi ketika mereka sampai di tepian Sungai Eufrat, keduanya berhasil terkejar oleh pasukan Abbasiyun. Keduanya pun menceburkan diri ke sungai dan mulai berenang. Dari Kejauhan, pasukan Abbasiyah berteriak, "Kembalilah kalian berdua. Kalian akan mendapatkan jaminan keamanan!" Mereka bersumpah untuk itu, tapi keduanya bertekad untuk sampai ke tepian sungai yang di seberang. Hanya saja Hisyam sudah tidak sanggup lagi berenang hingga ia memutuskan untuk memenuhi panggilan mereka, tapi Abdurrahman terus mendorong dan memotivasinya untuk berenang, "Jangan kembali, Saudaraku! Karena mereka pasti membunuhmu!" Hisyam menjawab, "Mereka telah memberikan jaminan keamanan." Ia tetap memilih untuk kembali kepada pasukan Abbasiyyun. Tapi begitu pasukan Abbasiyyun memegangnya, mereka langsung membunuhnya di depan mata saudaranya.
Abdurrahman bin Muawiyah terus menyeberangi sungai itu tanpa bisa berbicara atau berfikir lagi karena kesedihan yang mendalam atas terbunuhnya sang adik yang berusia 13 tahun itu. Ia kemudian berjalan menuju wilayah Maghrib, karena ibunya adalah seorang wanita yang berasal dari suku Berber. Ia bermaksud melarikan diri menemui keluarga ibunya di sana. Ia melalui sebuah kisah pelarian diri yang panjang dan menakjubkan, di mana ia melintasi Syam, Mesir, Libya, dan Qairuwan.
Abdurrahman bin Muawiyah akhirnya sampai ke Burqah (Libya). Selama lima tahun lamanya ia terus bersembunyi hingga pencarian dan pengusiran mulai tenang. Ia pun keluar menuju Qairuwan. Pada masa itu, Qairuwan di pimpin oleh Abdurrahman bin Habib Al-Fihri keturunan dari Uqbah bin Nafi' seorang penakluk Maghrib yang pertama. Saat itu Afrika Utara benar-benar telah berdiri sendiri dan lepas dari Daulah Abbasiyah.
ABDURRAHMAN DAN PERJALANAN MEMASUKI ANDALUSIA
Pada tahun 136 H (753 M), Abdurrahman bin Muawiyah mulai menyiapkan perbekalannya untuk memasuki Andalusia. Ia melakukan hal-hal berikut:
Pertama : Mengutus budaknya yang bernama Badr ke Andalusia untuk mempelajari situasi dan mengetahui kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi kekuasaan di sana. Saat itu Andalusia menjadi ajang perebutan antara orang-orang Yaman, yang di pimpin oleh Abu Ash-Shabah Al-Yahshuby, dan orang-orang Qais, yang di pimpin oleh Abu Jausyan Ash-Shumail bin Hatim, dan mereka inilah yang menjadi andalan pemerintahan yang di pimpin oleh Abdurrahman bin Yusuf Al-Fihri.
Kedua : Mengirimkan surat kepada semua pecinta Daulah Umawiyah di bumi Andalusia setelah ia mengetahui dari budaknya yang bernama Badr tentang siapa mereka. Dan sebenarnya, banyak sekali orang yang di masa Daulah Umawiyah maupun di masa lainnya yang sangat mencintai kalangan Umawiyyun. Sehingga sejak kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan terhadap wilayah Syam di masa kekhilafahan Umar bin Al-Khattab, di masa kekhilafahan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib ; kaum muslimin di berbagai penjuru Daulah Islamiyah sangat mencintai Bani Umayyah. Di sepanjang sejarah, Bani Umayyah sangat popular dengan kedermawanan, kebijakan politis dan kebijaksanaan mereka, serta keberhasilan mereka mendapatkan kepercayaan masyarakat, interaksi mereka yang baik terhadap masyarakat, upaya-upaya jihad Fi sabilillah, di dalam negri Andalusia, Bani Umayyah mempunyai banyak sekali pendukung dan banyak pengagum, bahkan dari kabilah-kabilah lain di luar Bani Umayyah.
Ketiga : Mengirim surat kepada semua orang Umawiyyun di Andalusia dan memaparkan idenya kepada mereka, dan bahwa ia bermaksud untuk memasuki Andalusia serta meminta dukungan dan bantuan mereka.
Langkah paling berpengaruh yang berhasil di lakukan oleh Badr adalah ketika ia berhasil menemui para bekas budak yang mendukung orang yang telah membebaskannya yaitu Daulah Umayyah dan memimpin para senior mereka, melalui merekalah, ia berusaha melakukan upaya persekutuan dengan suku Qais, namun mereka dengan gamblang mengungkapkan kekhawatiran akan munculnya seorang pangeran dari Bani Umayyah dan menolak kesepakatan itu. Badr pun akhirnya menemui kabilah Yaman Hingga akhirnya kesepakatan pun terjalin antara pihak Abdurrahman dan orang-orang dari kabilah Yaman. Dengan demikian maka tuntaslah misinya dan ia pun segera mengirimkan utusan kepada Abdurrahman dan menyampaikna kepadanya bahwa situasi dan kondisi di Andalusia sudah memungkinkan untuk menerima kedatangan Abdurrahman, saat utusan itu datang dan menceritakan kondisi di Andalusi maka bangkitlah Abdurrahman dan berkata, "Allahu Akbar! Sekarang sempurna tuntas sudah urusan kita dan Allah pun memenangkan kita dengan kekuatan dan keperkasaan-Nya!"
Ia pun kemudian menyiapkan bekalnya dan menyiapkan perahu yang akan membawanya seorang diri menuju negeri Andalusia.
ABDURRAHMAN AD-DAKHIL DI ANDALUSIA
Abdurrahman bin Muawiyah akhirnya tiba di Andalusia, saat itu Andalusia sedang di pimpin oleh Yusuf bin Abdurrahman Al-Fihri. Begitu Abdurrahman bin Muawiyah memasuki Andalusia, mulailah ia mengumpulkan para pendukungya, para pecinta Daulah Umayyah, Kabilah Berber dan beberapa kabilah yang menentang Yusuf bin Abdurrahman Al-Fihri. Pada saat yang sama juga sisa-sisa kerabat Bani Umayyah yang melarikan diri ke Andalusia mulai mengabungkan diri dalam persekutuan yang telah di jalankan bersama orang-orang Yaman.
PERTEMPURAN AL-MUSHARAH
Sebelum terjadi peperangan, Abdurrahman bin Muawiyah mengirimkan beberapa surat kepada Yusuf bin Abdurrahman Al-Fihri meminta kesediannya secara baik-baik untuk menyerahkan kepemimpinan, dan Al-Fihri akan di angkatnya menjadi pejabat pentingnya di Andalusia. Alasannya adalah karena ia masih cucu dari Hisyam bin Abdul Malik kerabat dari Abdurrahman bin Muawiyah. Namun tawaran yang sangat begitu baiknya itu di tolak oleh Yusuf Al-Fihri dan malah menyiapkan pasukannya untuk memerangi Abdurrahman bin Muawiyah bersama para pendukungnya.
Maka pada bulan Dzulhijjah 138 H (Mei 756 M), meletuslah sebuah peperangan dahsyat antara Abdurrahman bin Muawiyah dengan Yusuf bin Abdurrahman Al-Fihri, peperangan itu dikenal oleh para sejarahwan dengan nama perang Al-Musharah.
Sebelum terjadinya peperangan, timbulah suara-suara sumbang dari beberapa orang Yaman yang mengatakan, "Abdurrahman itu orang asing di negeri ini, lagi pula ia mempunyai kuda yang besar dan kuat. Jika terjadi kekalahan, maka ia akan segera melarikan diri meninggalkan kita menghadapi pasukan Al-Fihri seorang diri!" Ucapan itu nyatanya sampai juga ke telinga Abdurrahman. Dengan kecerdasannya yang luar biasa yang melampaui usianya yang 25 tahun, ia pergi menemui Abu Ash-Shabah Al-Yahshuby seorang pemimpin dari kabilah Yaman dan mengatakan kepadanya, "Sesungguhnya kuda tungganganku ini sangat cepat larinya dan membuatku tidak bisa memanah karenanya. Jika engkau berkenan, ambilah dia dan berika keledaimu kepadaku!"
Ia pun memberikan kudanya yang cepat itu dan mengambil keledainya untuk di gunakan dalam pertempuran. Pada saat itulah orang-orang Yaman mengatakan, "Ini bukanlah tindakan seorang pria yang ingin melarikan diri. Ini adalah tindakan orang yang ingin mencari kematian di medan perang!"
Setelah itu, pertempuran hebat pun berlangsung, saling serang terjadi di antara kedua belah pihak, pada mulainya kedua pihak sama-sama kuat dan saling menunjukan kebolehan dan keahlian seni berperangnya, namun setelah beberapa lama terjadi peperangan, akhirnya Abdurrahman bin Muawiyah berhasil memberikan sebuah pukulan telak kepada pasukan Al-Fihri hingga posisi mereka sangat tidak menguntungkan, akhirnya Abdurrahman berhasil memenangkan pertempuran dan Yusuf bin Abdurrahman Al-Fihri pun melarikan diri.
Dalam tradisi peperangan, sudah menjadi kebiasaan jika pasukan yang memenagkan peperangan akan mengejar pasukan yang kalah dan melarikan diri, untuk membunuh dan menghabisi mereka. Dengan begitu, mereka dapat memadamkan pemberontakan yang mungkin akan terjadi setelahnya. Disaat orang-orang Yaman mempersiapkan pengejaran itu tiba-tiba Abdurrahman melarang mereka dan mengatakan sebuah perkataan yang hingga saat ini masih harum terdengar di telinga para muslimin, ungkapan yang menunjukan sebuah kecemerlangan, keilmuan, pemahaman yang benar dan pemikiran yang tepat dalam menimbang segala perkara. Ia mengatakan, "Janganlah kalian menghabisi musuh yang masih akan kalian harapkan persahabatannya, biarkanlah mereka hidup agar suatu saat nanti kita dapat mengahadapi msusuh yang lebih keras permusuhannya di bandingkan mereka!"
Yang ia maksudkan adalah, mereka yang hari ini memerangi kita mungkin esok akan menjadi bagian dari pasukan kita, dan dengan begitu mereka akan menjadi penolong kita untuk menghadapi musuh-musuh kita dari pihak kristen dan yang lainnya di Leon, Perancis dan yang lainnya. Demikianlah Abdurrahman Ad-Dakhil adalah seseorang yang memiliki pandangan yang sangat luas, meliputi seluruh kawasan Andalusia, bahkan meliputi wilayah Eropa. Ia mengetahui meskipun boleh saja baginya memerangi mereka demi mempersatukan negri itu, tetapi pada waktu yang sama, secara syar'i ia tidak dibenarkan untuk mengejar dan membunuh mereka yang melarikan diri. Ia juga tidak boleh menyiksa mereka yang terluka dan membunuh para tawanan mereka. Karena posisi mereka di dalam Islam adalah Al-Bughat atau pemberontak, bukan orang musyrik. Dan hukuman untuk pemberontak dalam islam adalah, yang melarikan diri dari mereka tidak di cari, yang tertawan tidak di bunuh, yang terluka tidak di siksa, bahkan hartanya tidak di jadikan sebagai harta rampasan perang.
Kekalahan dalam pertempuran itu sangat hebat, sampai-sampai Abdurrahman bin Muawiyah tidak mendapati seorang pun menghalanginya untuk sampai ke istana kekuasaan di Cordova. Tentara-tentaranya menguasai apa yang ada di tangan pasukan Yusuf, entah itu berupa perbekalan, persenjataan dan yang lainnya. Hanya saja ada sebagian orang yang berusaha membalas dendam kepada Yusuf dengan merampok dan menculik istri dan anak-anaknya. Mengetahui hal itu, maka Abdurrahman segera mengusir orang-orang itu, memberikan pakaian kepada anak-anak Yusuf yang telanjang karena di rampok dan mengembalikan hartanya yang bisa ia kembalikan. Karena hal itu banyak dari orang-orang Yaman yang marah dan kecewa kepada Abdurrahman karena mereka tidak bisa membalas dendam kepada Yusuf. Mereka berfikir bahwa itu dikarenakan Abdurrahman Ad-Dakhil melindunginya karena kefanatikkannya terhadap nasabnya yang berasal dari suku Mudhar.
Abdurrahman bin Muawiyah tinggal di luar Cordova selama tiga hari untuk memberikan kesempatan kepada keluarga Yusuf Al-Fihri mengumpulkan milik mereka dan keluar dengan aman. Kejadian ini menjadi awal catatan sejarah kemuliaan dan keharuman namanya di Andalusia.
ABDURRAHMAN DAN KHALIFAH ABBASIYAH
Pada tahun 756, Abdurrahman Ad Dakhil menolak kekhalifahan Abbasiyah di Damaskus dan menjadi amir independen di Kordoba. Ia berkuasa selama 6 tahun setelah Daulah Umayyah telah kehilangan posisi kekhalifahan di Damaskus pada tahun 750. Untuk mendapatkan kembali posisi kekuasaan, ia mengalahkan penguasa Islam dari daerah-daerah yang menentang aturan Umayyah dan berbagai kesultanan lokal dan bersatu menjadi emirat. Namun, unifikasi pertama al-Andalus di bawah Abdurrahman masih membutuhkan waktu lebih dari 25 tahun (Toledo, Zaragoza, Pamplona dan Barcelona).
Ketika Abu Ja’far al-Mansur, khalifah kedua Abbasiyah, mengangkat al-A’la bin al-Mughirah menjadi gubernur Andalusia pada tahun 761, gubernur itu ditangkap oleh Abdurrahman. Dua tahun kemudian lehernya dipenggal, kepalanya diawetkan dengan kamper dan garam, lalu dibungkus dengan bendera hitam. Surat pengangkatannya dimasukkan kedalam bungkusan tersebut, selanjutnya dikirim kepada khalifah al-Mansur, yang waktu itu sedang menunaikan ibadah haji di Mekkah.
Menerima kenyataan tersebut, khalifah al-Mansur memuji Allah karena dia dan Abdurrahman dipisahkan oleh laut; jika tidak, tentu akan terjadi pertempuran yang dahsyat. Ia menjuluki Abdurrahman sebagai “Rajawali Kuraisy”.
Menurut sebuah riwayat, Andurrahman pernah mempersiapkan pasukan angkatan laut untuk merebut Suriah dari Dinasti Abbasiyah. Tetapi rencana ini gagal karena didalam negerinya muncul keributan dan pemberontakan.
Keberhasilan Abdurrahman memadamkan pemberontakan dan gangguan musuh membuktikan dirinya sebagai penguasa yang mempunyai kedudukan sama baik dengan penguasa-penguasa yang tangguh di Eropa maupun dengan penguasa Abbasiyah. Ahli sejarah menilai sebagai arsitek dalam perang dan perdamaian. Tentang kecakapannya memerintah, ia disamakan orang dengan khalifah al-Mansur, karena ia mampu mempersatuka dan memakmurkan kehidupan rakyatnya yang berasal dari berbagai suku bangsa, seperti Arab, Suriah, Barbar, Numidia, Arab-Spanyol, dan Goth.
Selama Abdurrahman memerintah, disamping berhasil memadamkan pemberontakan dan serangan musuh-musuhnya sehingga negaranya menjadi stabil, ia juga berhasil membangun kepentingan rakyat, seperti pertanian, perdagangan, dan perekonomian. Ia memperindah kota-kota; membangun salurah iar minum yang bebas dari kotoran; membangun istana Munyatur Rusyafah di luar kota Cordoba dengan bentuk menyerupai istana yang dibangun kakeknya, Hisyam, di timur laut Suriah; membuat dinding disekitar kota; dan mendirikan Masjid Agung Cordoba yang kemudian terkenal sebagai pusat untuk wilayah islam di Barat. Ia memprakarsai dan mendorong kegiatan-kegiatan intelektual, seni, dan budaya, sehingga Spanyol dari abad ke-9 sampai abad ke-11 merupakan salah satu pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia di Barat, yang mempunyai kedudukan sama dengan kota Baghdad di Timur.
WAFATNYA AMIR ANDALUS, ABDURRAHMAN BIN MUAWIYAH
Abdurrahman Ad-Dakhil hidup selama 59 tahun. Sembilan belas tahun di antaranya ia lalui di Damaskus dan Irak sebelum kejatuhan Daulah Umawiyyun, enam tahun dalam pelarian menghindari kejaran Bani Abbasiyah dan perencanaan memasuki Andalusia, lalu 34 tahun memegang kekuasaan dan kepemimpinan di negeri Andalusia. Beliau akhirnya meninggal dunia di Cordova dan dimakamkan di sana pada Jumadil Ula 172 H (Oktober 788 M). Dari seorang pelarian politik, ia menjadi penguasa yang disegani kawan dan lawan.
PENINGGALAN DINASTI UMAYYAH DI ANDALUSIA
Istana Al-Hamra peninggalan Daulah Umayyah II di Spayol





Masjid Agung Cordova



Brother Naoval, thaaannkksss a lot jazakaLLOH khoyron atas materi luar biasa ini. Salam...
ReplyDeleteAlhamdulillah....
DeleteSama-sama akhi..