Monday, September 14, 2015

Runtuhnya Kesultanan Demak, Lahirnya Kesultanan Pajang dan Keruntuhannya

Edisi 3

Apa kabarnya sahabat Jacky dimanapun kalian berada? setelah sebelumnya kita membahas tentang munculnya kesultanan Demak dari awal kejayaannya hingga keruntuhannya, sekarang kita masuk pada masa kekuasaan kesultanan Pajang, setelah Arya Panangsang naik takhta setelah sebelumnya kesultanan Demak di pimpin oleh Sultan Trenggana, melihat kebobrokan yang terjadi di keraton Demak membuat banyak musuh-musuh kesultanan mulai mengancam kedaulatan Demak, dan benar saja, tidak lama setelah Arya Panangsang naik takhta, Demak kemudian di serang oleh Jaka Tingkir dari Kadipaten Pajang dibantu oleh Kiyai Gede Pamanahan dan anaknya Sutawijaya serta Ki Penjawi. Setelah itu Jaka Tingkir di angkat menjadi Sultan oleh Sunan Giri dengan nama Sultan Hadiwijaya serta memindahkan pusat pemerintahannya dari Demak ke Pajang pada tahun 1568, maka bermulalah Kesultanan Pajang di Jawa meneruskan Kesultanan Demak.

Kesultanan Pajang
Logo Kesultanan Pajang
Kesultanan Pajang merupakan salah satu kerajaan Islam yang berpusat di Jawa Tengah. Kerajaan ini adalah kelanjutan Kesultanan Demak. Nama Kadipaten Pajang sebenarnya sudah dikenal sejak jaman kerajaan Majapahit. Didalam Nagarakretagama dikisahkan bahwa ada seorang adik perempuan Hayam Wuruk yang menjabat sebagai penguasa Pajang. Penguasa Pajang tersebut bergelar Bhatara i Pajang atau disingkat Bhre Pajang, nama asli Bhre Pajang adalah Dyah Nertaja, Ibu dari Wikramawardhana. Berdasarkan naskah-naskah babad, negeri pangging disebut sebagai cikal bakal dari Pajang. Ketika Majapahit dipimpin oleh Brawijaya, nama pengging muncul kembali, dikisahkan, putri Brawijaya yang bernama Retno Ayu Pembayun diculik Menak Daliputih, Raja Blambangan, putra Menak Jingga. Retno Ayu Pembayun berhasil diselamatkan oleh seorang pemuda bernama Jaka Sengara.

Atas Jasanya itu, Jaka Sengara kemudian diangkat menjadi Bupati Pengging dan dinikahkan dengan Retno Ayu Pembayun. Setelah menjabat sebagai Bupati Pengging, Jaka Sengara bergelar Andayaningrat.

Saat terjadi pertempuran antara Majapahit dan Demak, Jaka Sengara gugur. Jaka Sengara kemudian diganti dengan putranya yang bernama Raden Kebo Kenanga dan bergelar Ki Ageng Pengging. Sejak saat itu Pengging menjadi daerah bawahan Kesultanan Demak. Ki Ageng Pengging memiliki seorang putra yang bernama Jaka Tingkir. Dalam ejaan China Jaka Tingkir disebut Peng King Kang. Ia yang kelak menjadi raja sekaligus pendiri Kesultanan Pajang. Kesultanan Pajang meskipun tidak sekuat pendahulunya (Singasari, Majapahit dan Demak), Tapi eksistansinya dalam panggung sejarah Nasional Indonesia sangat diperhitungkan. Hal ini karena, selain sebagai kelanjutan dari Kesultanan Demak, Kesultanan Pajang juga sebagai geneologi dari lahirnya Kerajaan Mataram. Untuk itu dalam hal ini, saya akan menuliskan secara rinci tentang sejarah Kesultanan Pajang mulai berdirinya hingga masa keruntuhannya.


Peralihan Kesultanan Demak ke Kesultanan Pajang

Lahirnya Kesultanan Pajang tidak bisa dilepaskan dari sosok Jaka Tingkir, mengingat kedudukannya sebagai sultan yang meneruskan Dinasti Kesultanan Demak sekaligus pendiri Kesultanan Pajang. Kisah Jaka Tingkir sangat lekat dalam tradisi lisan masyarakat Jawa selama berabad-abad. Mengenai sosok Jaka Tingkir ini setidaknya ada beberapa versi. 

Pertama, menurut Selamet Muljana, Jaka Tingkir memiliki nama masa kecil Mas Karebet. Ia adalah putera dari Ki Angeng Pengging. Ketika berumur 10 tahun, Jaka Tingkir harus kehilangan ayahnya, tatkala Ki Ageng Pengging yang dituduh memberontak oleh pemerintahan Demak di hukum mati. Tak lama setelah Ki Ageng Pengging meninggal, Jaka Tingkir kembali dilanda kesedihan. Ibunya yang bernama Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal dunia. Sepeninggal kedua orang tuanya, Jaka Tingkir atau Mas Karebet diasuh oleh seorang janda bernama Ni Ageng Tingkir, di lereng gunung dekat salatiga. Maka dari itu, Mas Karebet diberi nama Jaka Tingkir (Pemuda dari Tingkir).

Kedua, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Jaka Tingkir adalah murid Ki Ageng Pengging yang semula menjadi tamtama di Kesultanan Demak pada masa pemerintahan Pengeran Trenggana. Karena Jaka Tingkir memiliki keahlian yang luar biasa, maka ia dijadikan menantu oleh Sultan Demak. Setelah berhasil membunuh Arya Pangsang, ia menobatkan dirinya sebagai Sultan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Dari dua pendapat tersebut, saya sepakat dengan pendapat yang pertama. Hal ini karena, dalam babad Jaka Tingkir, dikisahkan bahwa ketika Jaka Tingkir dilahirkan, Ki Aggeng Pengging sedang menyelenggarakan pertunjukan Wayang Beber dengan dalang Ki Aggeng Tingkir. Adapun nama Mas Karebet adalah pemberian dari Ki Aggeng Tingkir. Kiprah Jaka Tingkir di panggung politik berawal dari niatnya untuk mengabdi kepada Kesultanan Demak. Karena kelihaiannya, ia berhasil menarik simpati Raja Demak dan akhirnya mengangkat Jaka Tingkir sebagai kepala prajurit berpangkat Lurah Wiratamtama. Namun, hal ini tidak berlangsung lama , Jaka Tingkir kemudian di berhentikan dari ketentaraan Demak karena membunuh Dadungawuk.

Pemberhentian dari ketentaraan itu menjadi pelajaran berharga bagi Jaka Tingkir. ia kemudian pergi meninggalkan Demak dan berguru pada Ki Ageng Banyubiru. Setelah selesai, ia kemudian kembali ke Demak dengan ketiga teman seperguruannya yaitu Mas Manca, Mas Wilda dan Ki Wuragil. Sesampainya di Demak, mereka kemudian menyusun siasat, ketika Sultan Trenggono sedang berwisata ke Gunung Prawoto, Jaka Tingkir melepaskan seekor kerbau gila. Kerbau tersebut memporak-porandakan kraton Demak dan tidak ada seorangpun yang bisa menghentikannya, Jaka Tingkir yang berada di dekat Istana kemudian memburu kerbau tersebut dan berhasil membunuhnya. Sampai sini, siasat yang dilakukan Jaka Tingkir berhasil. Atas Jasanya itu, Jaka Tingkir kemudian diangkat kembali menjadi Lurah Wiratamtama. Setelah diangkat menjadi Lurah Wiratamtama untuk yang kedua kalinya kariri Jaka Tingkir di Demak semakin meningkat. Bahkan ia juga dinikahkan dengan Ratu Mas Cempaka, putri Sultan Trenggana. Karir Jaka Tingkir terus melonjak tatkala terjadi perebutan kekuasaan antar keluarga Kerajaan Demak pasca meninggalnya Sultan Trenggana.

Awal mula perebutan kekuasaan ini berawal dari perebutan kekuasaan keturunan Pangeran Sekar dengan Pangeran Trenggono. Kedua pangeran ini memang berhak menduduki takhta Kesultanan Demak. Dilihat dari segi usia, Pangeran Sekar lebih tua dan merasa paling berhak menduduki takhta Kerajaan daripada Pangeran Trenggono. Namun, Pangeran Sekar berasal dari istri ketiga Raden Fatah, yaitu adipati Jipang. Sedangkat Pangeran Trenggono berasal dari istri pertama, putri Sunan Ampel. Oleh karena itu Pangeran Trenggono merasa lebih berhak menduduki takhta Kesultanan Demak.

Pada perkembangannya, Pangeran Prawata, anak dari Pangeran Trenggono membunuh Pangeran Sekar karena dianggap sebagai penghalang untuk menduduki takhta Kesultanan Demak. Pembunuhan ini terjadi si sebuah jembatan sungai ketika Pangeran Sekar dalam perjalanan pulang dari Sholat Jum'at, oleh karena itu, ia dikenal dengan nama Pangeran Sekar Seda Lepen.

Pembunuhan ini menjadi pangkal persengketaan di Kerajaan Demak. Arya Pangsang, anak dari Pangeran Sekar berusaha menuntut balas atas kematian ayahandanya, ia berusaha untuk menumpas semua keturunan Pangeran Trenggono. Apalagi ia mendapat dukungan penuh dari gurunya Sunan Kudus. Bagi lawan-lawan politikya, Arya Pangsang dituduh sebagai pembunuh keturunan Sultan Trenggono, tuduhan ini berdasarkan fakta bahwa Arya Panangsang memerintahkan rakyat untuk membunuh Pangeran Prawata sehingga Pangeran Prawata beserta permaisurinya terbunuh pada tahun 1549. Ia juga dalang dari pembunuhan Pangeran Hadirin, suami Ratu Kalinyamat. Pangeran Hadirin berhasil dibunuh oleh pengikut Arya Panangsang dalam perjalan pulang dari Kudus, mengantarkan istrinya memohon keadilan dari Sunan Kudus atas terbunuhnya Pangeran Prawata. Namun Sunan Kudus tidak dapat mengabulkan permohonan Ratu Kalinyamat karena menurutnya Pangeran Prawata memang berhutang nyawa kepada Arya Pangsang karena telah membunuh ayahnya yaitu Pangeran Sekar.

Terbunuhnya Pangeran Prawata dan Pangeran Hadirin membuat Pangeran Arya Panangsang semakin dekat dengan takhta, namun perjalan yang seharusnya sudah sangat mulus itu akhirnya terhenti ketika Sunan Kudus memberika saran kepada Arya Panangsang untuk membunuh Hadi Wijaya/Jaka Tingkir yang dianggap sebagai penghalang bagi Arya Pangsang untuk menduduki takhta Kesultanan Demak, Namun, usaha pembunuhan itu menemui kegagalan dan kegagalan itu mendorong pecahnya perang antara Jipang yang dipimpin oleh Arya Pangsang dengan Pajang dengan pimpinannya Ki Gede Pamanahan. Dalam peperangan itu pasukan Jipang dikawal oleh prajurit Soreng, sedangkan Pajang dibantu oleh Ki Penjawi, Ki Juru Martani, Pasukan Pajang juga dibantu oleh sebagian prajurit Demak dan Tamtama dari Butuh, Pengging. Dalam peperangan itu, Arya Panangsang terbunuh. terbunuhnya Arya Panangsang itu terjadi tahun 1480 Saka (1558 M). Setelah itu bermulalah era Kesultanan Pajang yang di pimpin oleh Sultan Hadi Wijaya meneruskan kekuasaan Kesultanan Demak. Hal ini dikarenakan Kesultanan Pajang tidak membuat Armada baru lagi, bahkan tidak mengasai pelabuhan-pelabuhan.

Pemberontakan Sutawijaya Dan Pindahnya Kekuasan ke Mataram Islam

Setelah Arya Panangsang meninggal, Retna Kencana secara resmi menggantikan posisi Arya Panangsang sebagai penguasa Jipang atau Jepara. Ia bergelar Ratu Kalinyamat. Penobatan Retna Kencana sebagai penguasa Jepara di tandai dengan sengkalan "Trus Karya Tataning Bumi" yang diperhitungkan sama dengan 12 Rabiul Awal (10 April 1549). Saat perpindahan pusat Kesultanan ke Pajang, perdagangan di pantai masih tetap berlangsung, tetapi kurang mendapatkan perhatian. Perpindahan ini juga berpengaruh terhadap pola kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Sistem kehidupan Feodal sangat terasa karena Sultan memiliki kekuasaan dan kedudukan tinggi, sementara rakyat sangat patuh kepada rakyatnya. Hal ini berbeda dengan kehidupan masyarakat di pesisir yang lebih bebas dan dinamis. Sedangkan masyarakat di pedalaman hidup dengan kehati-hatian dan mengutamakan gotong-royong (Kebersamaan).

Dari segi agama, peralihan kekuasaan Demak ke Pajang diikuti peralihan aliran agama Islam, dari Madzhab Hanafi menjadi Syi'ah. Hal ini diungkapkan dari berita Tionghoa dari kelenteng Talang dengan meminjam perkataan Fatahillah, mantan Panglima tentara Demak. Berita Tionghoa itu menyebutkan bahwa :
"Panglima tentara Demak sangat kecewa mendengar pembunuhan-pembunuhan di kalangan para keturunan Jin Bun/Raden Fatah di Demak. Dia tidak mau tunduk kepada Kesultanan Pajang, karena di Pajang agama Islam Madzhab Syi'ah sangat berpengaruh."

Sutawijaya adalah anak dari Ki Ageng Pamanahan yang dimana pada saat terjadi pertempuran antara Jipang dan Pajang, Ki Ageng Pamanahan ikut serta dalam memimpin pasukan Pajang, setelah pertempuran usai Sultan Hadiwijaya kemudian menghadiahkan kepadanya Alas Mentaok atau yang dikemudian dikenal dengan nama Mataram Islam, Alas Mentaok adalah bekas wilayah Kerajaan Mataram Hidu di Jawa Tengah hingga selatan, setelah pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Hindu di pindah ke daerah Jawa Timur, wilayah ini kemudian menjadi hutan. Dan hutan inilah yang kemudian disebut Alas Mentaok. Pada akhir abad ke 16 M, Alas Mentaok dikelola oleh Ki Ageng Pamanahan hingga menjadi sebuah desa yang kemudain diberikan nama yang sama dengan pendahulunya yaitu MATARAM. Ki Ageng Pamanahan adalah penguasa yang sangat patuh terhadap Sultan Hadiwijaya. Ki Ageng Pamanahan meninggal tahun 1584 M. Posisinya kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Sutawijaya. Sutawijaya kemudian diberikan gelar Senapati Ing Alaga Sayyidin Panatagama dari Sultan Pajang. Dinamakan "Ing Alaga" karena Sutawijaya adalah orang yang gagah berani dan mahir dalam berperang. Sementara "Sayyidin Panatagama" adalah gambaran pengaruh Islam dalam Kerajaan. Di bawah kekuasaan Sutawijaya Alas Mentaok menjadi kota yang semakin ramai dan makmur, hingga disebut Kotagede yang dikemudian dijadikan sebagi pusat pemerintahan. Sutawijaya juga membangun Benteng dalam yang mengelilingi kraton dan benteng luar yang mengelilingi kota seluas kurang lebih 200 Ha. Benteng ini juga dilengkapi dengan parit pertahanan yang luas.

Sementara itu, di Kesultanan Pajang sedang terjadi perebutan kekuasaan setelah Sultan Hadiwijaya wafat tahun 1528 M. Wafatnya Sultan Hadiwijaya ini bermula ketika Sultan Hadiwijaya merasa curiga dengan Sutawijaya yang enggan diminta menghadap ke kraton Pajang, berita yang berkembang menyebutkan bahwa Sutawijaya sedang menyusun siasat untuk memisahkan diri dengan Kesultanan Pajang, ia kemudian mengirimkan Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil untuk menanyakan kesetiaan Mataram. Tetapi saat utusan itu sampai di Mataram dan menanyakan kesetiaan Mataram, Sutawijaya menanggapi dengan sikap acuh. Namun, sesampainya di hadapan Hadiwijaya, kedua utusan ini tidak menceritakan sikap Sutawijaya itu, hal ini dilakukan karena mereka tidak ingin ada perpecahan antar kedua belah pihak. Mataram berkembang pesat menjadi sangat kuat dan hampir menjadi negara kota menyaingi Kesultanan Pajang, Hadiwijaya kembali mengirimkan utusannya yang kedua. Kali ini ia mengirimkan putra mahkotanya, Pangeran Benawa, Arya Pamalad dan Patih Mancangeraha.

Sesampainya di Mataram keduanya di jamu dengan sangat baik oleh Sutawijaya. Tiba-tiba, ketika pesta sedang berlangsung, putra Sutawijaya yang bernama Raden Rangga membunuh seorang prajurit Tuban yang didesak oleh Arya Pamalad, sesampainya di Pajang Arya Pamalad menceritakan keburukan Sutawijaya sedangkan Pangeran Benawa menceritakan bahwa kejadian itu murni kecelakaan saja. Hadiwijaya menerima kedua lapran itu dan berusaha menahan diri. Selang beberapa tahun kemudian, yaitu tahun 1582, seorang keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang bernama Raden Pabelen dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton (Putri bungsu Hadiwijaya). Ayah Pabelen yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membantu anaknya. Ibu Raden Pabelen yang juga adik perempuan sutawijaya kemudian meminta bantuan ke Mataram. Sutawijaya pun mengirimkan utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangan ke Semarang. Tindakan yang dilakukan Sutawijaya menjadi alasan bagi Hadiwijaya untuk menyerang Mataram. Akhirnya peperangan tidak bisa terelakan lagi. Pasukan Pajang yang bermukin di Prambanan menderita kekalahan. Kekalahan ini membuat Hadiwijaya semakin marah. Namun, sebelum melampiaskan kemarahannya, Hadiwijaya harus menerima guncangan dahsyat Gunung Merapi yang tiba-tiba meletus dan laharnya menerjang pasukan Pajang yang berperang di dekat gunung tersebut.

Hadiwijaya terpasak menarik mundur pasukannya dan kembali ke Pajang. Namun, di tengah perjalanan, Hadiwijaya jatuh dari gajahnya sehingga harus di tandu. Sesampainya di Pajang, Hadiwijaya sakit parah dan meninggal dunia tahun 1582, Ia di makamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu kandungnya.

Setelah Hadiwijaya wafat, putera mahkotanya yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan oleh Arya Pangiri, Arya pangiri ini adalah anak dari Sultan Prawata raja keempat Demak, yang tewas dibunuh oleh Arya Panangsang tahun 1549 M, dan kemudian diasuh oleh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara. Setelah dewasa ia kemudian dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan Hadiwijaya dan dijadikan sebagai Bupati Demak.

Pangeran Benawa sebagai putera mahkota meminta bantuan Sutawijaya di Mataram untuk mengembalikan haknya sebagai Sultan Pajang. Tahun 1586 M, Pangeran Benawa dan Sutawijaya berunding dan bersekutu di Mataram. Akhir keputusan tersebut  adalah keputusan untuk menyerbu Pajang. Atas bantuan Sutawijaya, Arya Pangiri berhasil ditaklukan. Setelah penaklukan tersebut, Pangeran Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Sutawijaya, namun ditolak dengan halus. Setahun kemudian Pangeran Benawa wafat. Sejak saat itu, Sutawijaya menjadi Raja Mataram Islam pertama dengan gelar Panembahan. Istana pemerintahannya terletak di Kotagede. Panembahan Senapati memerintah Mataram dari tahun 1584-1601 M. Dengan wafatnya Sultan Benawa membuat Kesultanan Pajang secara otomatis berpindah ke Mataram dan menjadi akhir dinasti Pajang.

Pada sekitaran tahun 2000 kisah kesultanan Pajang dan Mataram Islam ini di filmkan oleh salah satu stasiun televisi swasta, Nama film itu adalah "Kaca Benggala"


Di pembahasan berikutnya kita akan membahas Kejayaan Mataram Islam dan lahirnya Kerajaan-Kerajaan Kecil di Jawa Abad ke 16 yaitu :
- Kerajaan Banten
- Kesultanan Cirebon
- Kerajaan Sumedang Larang

1 comment: