Apa kabar sahabat Jacky dimanapun kalian berada? semoga selalu dalam lindungan Allah SWT.
Apa yang ada didalam benak kita ketika mendengar nama ACEH?
Masjid Baiturrahman? Serambi Mekah? Tsunami? Atau, Perang Sabil?
Berapa banyak dari anda yang menjawab Perang Sabil?
Banyak atau sedikit? mengapa demikian?
Masjid Baiturrahman? Serambi Mekah? Tsunami? Atau, Perang Sabil?
Berapa banyak dari anda yang menjawab Perang Sabil?
Banyak atau sedikit? mengapa demikian?

Lihatlah gambar di atas ini, indah bukan? ini adalah sebagian tampilan dari provinsi yang biasa di kenal juga dengan nama serambi mekah. Sebuah negri yang beribu kota di Banda Aceh ini memiliki jumlah penduduk provinsi ini sekitar 4.500.000 jiwa, dengan kekayaan minyak bumi dan gas alam yang melimpah. Bahkan pada masanya kesultanan Aceh ini juga merupakan kesultanan yang terkuat, terkaya dan termakmur di kawasan selat malaka. Sejarah Aceh diwarnai oleh kebebasan politik dan penolakan keras terhadap kendali orang asing, termasuk bekas penjajah Belanda & Britania Raya yang pernah menguasai Sumatera pada abad ke 18. Berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri karena alasan sejarah.
Sejarah Aceh tidak pernah bisa kita pisahkan dari sejarah tersebarnya Islam ke seluruh Indonesia. Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Agama Islam di Indonesia dan memainkan peran penting dalam penyebaran islam di Asia Tenggara.
Begitu sangat pentingnya peran Aceh dalam penyebaran Agama Islam membuat kerajaan Belanda dan Inggris seperti kebakaran jenggot, kerajaan Belanda dan Britain kemudian bersekongkol untuk menduduki Aceh dan memasukannya kedalam wilayah kekuasaannya. Maka dimulailah agenda keduanya untuk meruntuhkan kekuasaan Aceh dengan menguasai daerah-daerah di sekitarnya terlebih dahulu.
Di Kuasainya Kesultanan Siak

Ekspansi yang dilakukan oleh Belanda ke kawasan Timur Sumatera tidak mampu di hadang oleh Kesultanan Siak hingga akhirnya Sultan Ismail membuat perjanjian dengan Belanda dan menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan & Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh. Kemudian Belanda juga mempersempit ruang gerak Siak dengan mendirikan Residentie Riouw yang merupakan bagian dari pemerintahan Hindia-Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang.
Penguasaan Inggris di Selat Malaka, mendorong Sultan Siak pada tahun 1840 untuk menerima tawaran perjanjian baru mengganti perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya pada tahun 1819. Perjanjian ini menjadikan wilayah Kesultanan Siak semakin kecil dan terjepit antara wilayah kerajaan kecil lainnya yang mendapat perlindungan dari Inggris seperti Kesultanan Johor dan Kesultanan Lingga. Dari perjanjian tersebut Siak Sri Inderapura kehilangan kedaulatannya, kemudian dalam setiap pengangkatan raja, Siak harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Belanda. Selanjutnya dalam pengawasan wilayah, Belanda mendirikan pos militer di Bengkalis serta melarang Sultan Siak membuat perjanjian dengan pihak asing tanpa persetujuan pemerintahan Hindia Belanda.
Terdesaknya Kesultanan Siak diantara tarik ulurnya perebutan kekuasaan yang di lakukan oleh Belanda dan Inggris membuat Siak menjadi daerah yang dilematis dan lemah, namun walaupun begitu Kesultanan Siak mampu bertahan hingga kemerdekaan Indonesia.
Tersulutnya Perang Aceh (Perang Sabil)

Aceh yang merasa di tipu oleh Belanda dan Inggris dengan di ambilnya daerah Deli, Langkat, Asahan & Serdang yang merupakan daerah kekuasaan Aceh membuat Aceh menjadi geram. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang melintas di daerah perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Yang menarik dari hal ini adalah bahwa penenggelaman kapal-kapal Belanda ini mendapatkan dukungan dari Inggris.
melihat kenyataan ini nampaknya Belanda memainkan strategi dengan sangat cerdiknya, mereka membuat kesepakatan perdamaian dengan Inggris yang dinamai dengan Perjanjian Sumatera. Isi dari perjanjian Sumatera ini adalah Inggris memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak & menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Inggris.
melihat kenyataan ini nampaknya Belanda memainkan strategi dengan sangat cerdiknya, mereka membuat kesepakatan perdamaian dengan Inggris yang dinamai dengan Perjanjian Sumatera. Isi dari perjanjian Sumatera ini adalah Inggris memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak & menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Inggris.
Mengetahui bahwa Belanda telah membuat kesepakatan dengan Inggris, maka Aceh pun membangun hubungan diplomatis dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, Kesultanan Utsmaniyah di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871. Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia & Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh & meminta keterangan dari Sultan Mahmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Mahmud menolak untuk memberikan keterangan.
Niuwenhujzen diutus untuk mewakili Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan surat tugas tertanggal 4 Maret 1873. Pokok-pokok isi dari surat tugas itu adalah: “bahwa Aceh telah meminta bantuan kepada negeri asing untuk melawan Belanda, maksud ini diselubunginya dengan jalan mengirimkan utusan kepada Residen Belanda di Riau kepada siapa telah dinyatakan keinginan meneruskan persahabatan… bahwa Aceh sudah melanggar pasal 1 Perjanjian Persahabatan dan Perdamaian tanggal 30 Maret 1857… bahwa Belanda ingin memiliki Sumatera dengan tenteram, untuk mana diperlukan mengakhiri kesamar-samaran kekuasaan Aceh.”
Karena hal-hal di atas, maka diutuslah Niuwenhujzen dengan tugas sebagai berikut: “Pergi ke Aceh untuk menuntut penjelasan kepada pemerintah kerajaan tersebut terhadap (apa yang disebut oleh surat tugas itu) “kecurangan” (“trouweloos gedrag”) dan untuk menuntut supaya Aceh mengakui kedaulatan Belanda.”
Niuwenhujzen juga dibekali dengan beberapa instruksi sebagai berikut:
Pasal 1
Komisaris Pemerintah (yaitu Niuwenhujzen) harus sudah berangkat tanggal 7 Maret 1873 dengan kapal perang “Citadel van Antwerpen” yang diiringi dengan kapal perang “Siak”, mulanya menuju Riau, selanjutnya ke Singapura supaya bersama Residen mengadakan musyawarah di sana dengan Konsul Jenderal Read mengenai maksud tugasnya. Dari sana ia melanjutkan pelayaran bersama dua kapal perang lainnya, “Coohorn” dan “Marnix” ke pulau Penang, untuk seterusnya ke Aceh.
Pasal 2
Sesampainya di pelabuhan Aceh, Komisaris memberitahukan maksud kedatangannya dengan mengindahkan formalitas diperlukan. Ini disampaikan dengan surat yang isinya menuntut penjelasan mengenai “kecurangan” utusan Aceh selama berada di Singapura (maksudnya hubungan utusan Aceh yang meminta bantuan kepada negara asing seperti Amerika untuk melawan Belanda). Dalam surat itu juga diberitahukan keinginan Gubernemen Belanda untuk memenuhi “panggilan takdirnya” yang harus dilaksanakannya di pulau Sumatera, yang membuat Gubernemen tidak bisa mentolerir lagi kecurangan sedemikian, dan oleh karena itu dituntut kepada Sultan supaya dalam tempo 24 jam setelah surat diterima, untuk mengakui takluk di bawah kedaulatan Belanda.
Pasal 3
Jika tuntutan diterima oleh Sultan, Komisaris harus menyiapkan akta pengakuan rangkap tiga, sesudah mana dengan mengindahkan formalitas seperlunya, menyambut pengakuan itu.
Pasal 4
Jika Sultan menolak, hendaklah diumumkan PERANG atas nama Gubernemen.
Demikianlah kutipan surat tugas yang diterima oleh Niuwenhujzen, yang juga sedikit menggambarkan kepada kita betapa besar nafsu Belanda untuk menguasai Aceh.
Kedatangan utusan Belanda ini ke Aceh sama sekali tidak di indahkan oleh Sultan Mahmud sehingga membuat Belanda geram dan akhirnya menyatakan perang kepada Aceh pada tanggal 28 Maret 1873. Sultan Mahmud tidak menerima untuk tunduk kepada Belanda dan membiarkan negrinya di jajah dan dikuasai oleh orang yang tamak dan hanya mementingkan ambisinya.
Perang Aceh (Sabil)

Perlakuan tidak menyenangkan yang di lakukan oleh Sultan Mahmud kepada utusan Belanda membuat Belanda mengumumkan perang terhadap Aceh maka dimulailah perang terbesar dan terlama yang pernah di alami oleh Belanda di Nusantara.
Perang periode pertama tahun 1873-1874
Perang periode pertama tahun 1873-1874
Aceh sudah mempersiapkan diri dalam menghadapi serangan yang akan dilaksanakan oleh Belanda. Sepanjang pantai Aceh besar dibangun benteng-benteng untuk memperkuat wilayah. Demikian juga untuk tempat-tempat yang penting seperti istana raja, masjid raya Baiturrahman, dan Gunongan juga diperkuat. Terdapat sekitar 3000 laskar pejuang Aceh yang bersiaga disepanjang pantai dan 4000 pasukan lain yang menjaga istana Sultan. Walaupun Belanda sudah mendapat laporan tentang persiapan Aceh yang kuat untuk menghadapi agresi militer dari Belanda, tetapi pihak Belanda masih menganggap remeh Aceh dan berpikir Aceh pasti dapat dengan mudah ditaklukkan oleh Belanda.
Pada tanggal 5 April 1873, tampaklah suatu kesatuan penyerbu Belanda yang kuat dan dipimpin oleh Mayor Jendral J.H.R. Kohler. Pada penyerangan Belanda yang pertama ini, Belanda berhasil menyerang dan mengepung Masjid Raya Baiturrachman serta menembakkan peluru api ke arah masjid tersebut, sehingga Msjid tersebut terbakar dan berhasil diduduki oleh pihak Belanda. Tetapi setelah Belanda berhasil menduduki Masjid tersebut, panglima perangnya yakni Jendral Kohler tewas, akibat ditembak oleh pasukan Aceh. Kekuatan pasukan Aceh semakin lama bertambah besar. Orang-orang Aceh yang sudah lama bersikap anti Belanda dan mengetahui negerinya akan diserang oleh Belanda, membuat masyarakat Aceh mengobarkan semangat juang untuk mempertahankan negerinya dari serangan Belanda. Peran ulama dan uleebang dalam perang Aceh juga sangat besar. Masyarakat Aceh sebagian besar adalah pemeluk agama islam yang kuat sehingga begitu ulama menyerukan kepada umat untuk perang fisabilillah (perang sabil) maka rakyat aceh dengan serentak akan menyerahkan jiwa dan raganya untuk berjuang di jalan Tuhan dan demi mempertahankan negerinya dari serangan Belanda. Pemimpin perang periode pertama dari pihak Aceh adalah Panglima Polem Cut Banta, Panglima Sagi XXII Mukim, Dan Teuku Imam Luengbata. Setelah berhasil menduduki Masjid Raya Baiturahman, Belanda kini memusatkan penyerangan pada Istana Sultan. Serangan Belanda atas istana Sultan ternyata mengalami kegagalan dan atas persetujuan pemerintah Hindia Belanda di Batavia akhirya pasukan Belanda meninggalkan Aceh pada 29 April 1873.
Pada tanggal 9 Desember 1873, kapal perang Belanda kembali mendarat di pantai Aceh. Dalam penyerangan ini, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Jendral J. Van Swieten. Tugas utama dari Swieten adalah untuk menyerang dan merebut istana serta mengadakan perjanjian dengan Sultan Aceh. Sesudah Belanda meninggalkan Aceh pada April 1873, masjid raya Baiturrahman kembali diduduki oleh pasukan Aceh. Dalam ekspedisi kedua ini, Belanda membawa 8000 prajurit untuk menyerang Sultan Mahmud Syah dan merebut istananya. Akhirnya pertempuran terjadi di kawasan istana sultan dan sekitar masid raya. Setelah lebih dari dua minggu berhasil bertahan, akhirnya laskar Aceh pun terdesak dan istana jatuh ketangan Belanda. sultan beserta keluarga dan pengikutnya hijrah ke Leunbata pada tanggal 24 januari 1874 untuk menyelamatkan diri. Bersama panglima Polim dan pengikut yang lain, Sultan mendirikan markas pertahanan di Leunbata. Tetapi ditengah perjuangan Sultan meninggal dunia akibat terkena wabah kolera. Kini kepemimpinan Aceh diserahkan kepada putra mahkota yang masih muda yakni Muhammad Daud Syah dan dibantu oleh Dewan Mangkubumi yakni Tuanku Hasyim. Pada tanggal 31 januari 1874 Van Swieten memproklamirkan bahwa Belanda telah menguasai Aceh besar. Tetapi rakyat Aceh tidak gentar dengan seruan Belanda tersebut dan masih merasa merdeka walaupun ibukota Aceh direbut oleh Belanda. Bagi rakyat Aceh sultan masih berdaulat bahkan dengan dikuasainya Aceh besar oleh Belanda, semakin besar pula semangat laskar Aceh dalam merebut kembali Aceh besar.
Perang periode kedua tahun 1874-1880
Jenderal Pel yang menggantikan Van Swieten pada bulan April 1874 mulai membangun pos-pos pertahanan di Kutaraja. Pada tahun 1877, pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Van Der Heyden. Van Der Heyden mulai melakukan ofensif dengan mengirim ekspedisi untuk menaklukkan Mukim XXII. Panglima Polim terpaksa mengundurkan diri ke daerah lain. Daerah daerah lain dalam Aceh besar akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Suasana yang dianggap sudah damai dan kesulitan keuangan mendorong peguasa Kolonial Hindia Belanda menerapkan sistem pemerintahan sipil. Ternyata langkah yang diambil oleh pemerintah Hindia Belanda itu salah. Paska diberlakukannya pemerintahan sipil, perlawanan dari rakyat semakin besar sehingga Belanda kembali menerapkan sistem pemerintahan militer.
Pada tahun 1877 Habib Abdurrahman kembali dari Turki. Dia berhasil mengadakan perundingan dengan Teuku Cik Di Tiro dan Imam Leungkata di Pidi untuk membicarakan soal strategi perang. Penyerangan Habib Abdurrahman terutama untuk memperlemah pos-pos Belanda yang melingkar antara Krueng, Raba, Lambaroh Uleekarang dan Klieng. Para pejuang juga berusaha membatasi ruang gerak pasukan Belanda dengan menghentikan konvoi pasukan Belanda. Memasuki tahun 1878 kegiatan laskar Aceh semakin luas. Aceh membagi daerah pertempuran menjadi tiga bagian yaitu pertempuran antara pasukan Habib Abdurrahman dengan pasukan Belanda di Blang Ue, Peuka Badak dan Bukit Sirun. pertempuran Teuku Cik Di Tiro di daerah Pidi. Di Aceh barat perlawanan terhadap Belnda dipimpin oleh Teuku Umar. Ia dibantu oleh istrinya, Cut Nyak Dien yang juga aktif dalam medan pertempuran. Perlawanan Teuku Umar membuat Belanda kesulitan, sehingga Belanda dibuatnya kualahan dengan penyerangan di beberapa titik itu.
Perang periode Ketiga tahun 1880-1896
Memasuki tahun 1880 situasi di Aceh semakin buruk bagi Belanda. Perlawanan rakyat Aceh semakin menghebat dan terjadi diseluruh lapisan msyarakat. Kaum bangsawan seperti Ulebalang langsung memimpin perjuangan di medan pertempuran dan ulama mengobarkan semangat juang di kalangan rakyat Aceh dengan mendengungkan perang Sabil dan mengkhotbahkan kisah-kisah peperangan seperti hikayat perang sabil, dan syair Aceh. Pemerintah Hindia Belanda mulai menyadari kesulitan menaklukan aceh. Pada awal tahun 1880 biaya yang dikeluarkan sudah mencapai 115 juta gulden dan pada akhir tahun 1884 mencapai 150 juta gulden. Karena pejuang-pejuang Aceh selalu berhasil memasukkan perbekalannya melalui pantai utara, maka pada bulan Agustus 1881 pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk menjalankan blokade ketat. Tindakan yang diambil antara lain :
Perang periode kedua tahun 1874-1880
Jenderal Pel yang menggantikan Van Swieten pada bulan April 1874 mulai membangun pos-pos pertahanan di Kutaraja. Pada tahun 1877, pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Van Der Heyden. Van Der Heyden mulai melakukan ofensif dengan mengirim ekspedisi untuk menaklukkan Mukim XXII. Panglima Polim terpaksa mengundurkan diri ke daerah lain. Daerah daerah lain dalam Aceh besar akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Suasana yang dianggap sudah damai dan kesulitan keuangan mendorong peguasa Kolonial Hindia Belanda menerapkan sistem pemerintahan sipil. Ternyata langkah yang diambil oleh pemerintah Hindia Belanda itu salah. Paska diberlakukannya pemerintahan sipil, perlawanan dari rakyat semakin besar sehingga Belanda kembali menerapkan sistem pemerintahan militer.
Pada tahun 1877 Habib Abdurrahman kembali dari Turki. Dia berhasil mengadakan perundingan dengan Teuku Cik Di Tiro dan Imam Leungkata di Pidi untuk membicarakan soal strategi perang. Penyerangan Habib Abdurrahman terutama untuk memperlemah pos-pos Belanda yang melingkar antara Krueng, Raba, Lambaroh Uleekarang dan Klieng. Para pejuang juga berusaha membatasi ruang gerak pasukan Belanda dengan menghentikan konvoi pasukan Belanda. Memasuki tahun 1878 kegiatan laskar Aceh semakin luas. Aceh membagi daerah pertempuran menjadi tiga bagian yaitu pertempuran antara pasukan Habib Abdurrahman dengan pasukan Belanda di Blang Ue, Peuka Badak dan Bukit Sirun. pertempuran Teuku Cik Di Tiro di daerah Pidi. Di Aceh barat perlawanan terhadap Belnda dipimpin oleh Teuku Umar. Ia dibantu oleh istrinya, Cut Nyak Dien yang juga aktif dalam medan pertempuran. Perlawanan Teuku Umar membuat Belanda kesulitan, sehingga Belanda dibuatnya kualahan dengan penyerangan di beberapa titik itu.
Perang periode Ketiga tahun 1880-1896
Memasuki tahun 1880 situasi di Aceh semakin buruk bagi Belanda. Perlawanan rakyat Aceh semakin menghebat dan terjadi diseluruh lapisan msyarakat. Kaum bangsawan seperti Ulebalang langsung memimpin perjuangan di medan pertempuran dan ulama mengobarkan semangat juang di kalangan rakyat Aceh dengan mendengungkan perang Sabil dan mengkhotbahkan kisah-kisah peperangan seperti hikayat perang sabil, dan syair Aceh. Pemerintah Hindia Belanda mulai menyadari kesulitan menaklukan aceh. Pada awal tahun 1880 biaya yang dikeluarkan sudah mencapai 115 juta gulden dan pada akhir tahun 1884 mencapai 150 juta gulden. Karena pejuang-pejuang Aceh selalu berhasil memasukkan perbekalannya melalui pantai utara, maka pada bulan Agustus 1881 pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk menjalankan blokade ketat. Tindakan yang diambil antara lain :
- Seluruh pantai utara Aceh dari Ulee Lhene sampai ujung Diemant tertutup baik untuk ekspor-impor maupun untuk penangkapan ikan.
- Pelabuhan yang terbuka namun dengan pengawasan ketat ialah Ulee Lheue, Sigli, Samalanga, dan Lhok Seumawe.
- Armada belanda diperkuat dengan dua armada lagi.
Bagi Aceh blokade tersebut tidak terlalu mengkhawatirkan karena penyelundupan perbekalan dan senjata masih dijalankan dengan segala cara.
Pada tahun 1884 Belanda mulai menerapkan sistem konsentrasi (konsentrasi stelsel). Daerah yang dikuasai Belanda dimakmurkan agar orang-orang Aceh yang melakukan perlawanan meletakkan senjatanya dan kembali ke daerah yang aman dan makmur ciptaan Belanda. Kotaraja sebagai pusat pemerintahan dibangun benteng-benteng dan jalan. Di bagian luar benteng, hutan dan semak belukar ditebang, sehingga ada tanah selebar 1 km sebagai pengamanan terhadap penyelundupan pasukan Aceh. Dalam perkembangannya, sistem konsentrasi ini mengalami kegagalan karena strategi konsentrasi ternyata memberi peluang bagi para pejuang Aceh untuk menggalakkan perang gerilya. Strategi pemerintahan Belanda dalam perang Aceh ini selalu berubah setiap kali berganti pemimpin. Gubernur Deykerhoff (1890) berusaha mendekati kaum bangsawan dan para pedagang, karena mereka yang menyumbangkan dana terbesar untuk jalannya perang Aceh. Siasat tersebut ternyata berhasil untuk mendorong Teuku Umar untuk tunduk kepada pihak Belanda. Ia dan pasukannya membantu Belanda dalam ”mempasifikasikan” Aceh besar dengan menundukkan mukim XXII, XXV, XXVI. Dengan demikian Teuku Umar mendapat kepercayaan yang besar dari Belanda. Hal itu digunakan Teuku Umar untuk kembali ke pihak aceh dengan peralatan perang yang cukup lengkap (1896). Dengan kembalinya Teuku Umar, daerah Aceh besar mulai bergolak lagi. Oleh karena itu Belanda mendatangkan kembali ekspedisi untuk menundukkan kembali seluruh Aceh besar.
Perang periode keempat tahun 1896-1904
Belanda sudah melaksanakan perang dengan berbagai strategi dari pemimpin perang yang berbeda pula. Tetapi pertahanan Aceh masih sulit dihancurkan bahkan semangat juang masyarakat Aceh semakin membara. Oleh karena itu Belanda berusaha menyelidiki rahasia dari kekuatan besar Aceh terutama yang menyangkut kehidupan sosial budayanya. Dr. Snouck Hurgrunje yang faham tentang agama islam dan pernah bergaul dengan orang-orang Aceh yang naik haji, oleh pemerintah Hindia Belanda dipandang sebagai orang yang tepat untuk diberi tugas memecahkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi Belanda dalam menakhlukkan Aceh.
Sejak tahun 1890 Snouck Hurgronje mempelajari masyarakat Aceh. Ia juga pernah bermukim secara rahasia di Mekkah, dapat menguasai bahasa Arab serta sejarah dan ajaran-ajaran islam. Pada tahun 1889 menjabat sebagai Penasihat Pemerintahan Agung Hindia Belanda untuk urusan Arab dan pribumi. Snouck Hurgronje juga yang merintis politik devide et impera di kalangan umat Islam dan juga politik menjinakkan watak Islam. Hurgronje memberikan nasihat kepada pemerintah Hindia Belanda selama perang Aceh supaya memecah belah persatuan antara kaum Ulebalang dan kaum ulama. Mereka harus di isolir satu sama lain. Bersamaan dengan usaha memecah belah itu, kaum Ulebalang secara militer harus didesak. Apabila ada dari kaum tersebut yang memberontak maka harus dihancurkan dan kaum Ulebalang yang lemah harus dirangkul. Demikian pula dengan kaum ulama, harus dilakukan penidasan militer tanpa ampun, sambil menyalurkan ajaran-ajaran islam hanya pada bidang ubudiyah saja. Ajaran-ajaran islam tentang peperangan dan kenegaraan harus dimatikan.
Snouck Hurgronje juga memberi saran kepada pemerintah Hindia Belanda supaya menggempur semua pemimpin aceh yang mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Untuk menjaga keamanan Aceh Besar di setiap segi ditempatkan pasukan mobil. Ekspedisi di Aceh Besar dipimpin oleh Van Der Heyden dibantu oleh Van Heutz. Ofensif yang dilakukannya memaksa pemimpin Aceh untuk lari ke Pidie, antara lain Panglima Polim, Teuku Umar, dan pengikutnya. Strategi ofensif itu diteruskan waktu Van Heutz diangkat sebagai gubernur Aceh. Strategi itu sesuai dengan apa yang disarankan Snouck Hurgronje dan bertahun-tahun mereka perjuangkan.
Waktu diadakan operasi Pidie, didaerah pantai Timur muncul gerakan Teuku Tapa, seorang dari Gayo yang bertindak sebagai orang keramat dan berhasil menarik pengikut besar-besaran. Dicanangkannya pula perang sabil. Pada bulan juni 1898 diadakan rapat para pemimpin perang dimana Teuku Umar dipilih menjadi pemimpinnya. Operasi Van Heutz memaksa pihak Aceh lebih bersikap defensif dengan menghindari konfrontasi. Pada waktu menyerang Belanda di Meulaboh (1889) Teuku Umar gugur.
Sultan Muhammad Daud Syah sangat sulit untuk ditaklukkan oleh Belanda. Oleh karena itu, Belanda menggunakan taktik baru yaitu dengan menculik istri Sultan. Dengan memberi tekanan-tekanan keras kepada Sultan, akhirnya Sultan Muhammad Daud menyerah kepada Belanda tahun 1903. Cara yang sama juga dilakukan Belanda untuk menangkap Panglima Polim. Isteri, ibu dan anak-anak panglima Polim diculik oleh Belanda, kemudian Belanda menekan Panglima Polim terus-menerus. Akhirnya karena keadaan sudah mendesak maka panglima Polim dengan sisa pasukannya yang berjumlah 150 orang terpaksa menyerah kepada Belanda pada tanggal 6 september 1903.
Laskar Aceh semakin terdesak terus, Meurado, Samalangan, Pensangan, Batu merah dan Batu illie jatuh ke tangan Belanda. Beberapa rentetan peristiwa mulai dari gugurnya para pemimpin perang sampai menyerahnya para penglima dan Sultan Aceh kepada pihak Belanda perlahan-lahan membuat pertahanan laskar Aceh lemah bahkan benar-benar sulit untuk bangkit dan kuat seperti dahulu. Kesempatan tersebut digunakan pemerintah Hindia Belanda untuk menanamkan kekuasaan di seluruh wilayah Aceh . Peristiwa menyerahnya para pemimpin perang dan Sultan Aceh serta melemahnya kekuatan laskar Aceh sekaligus menandakan berakhirnya perang Aceh.
Setelah perang Aceh berakhir, maka kerajaan Aceh didikat oleh pemerintah Hindia Belanda dengan jalan menandatangani pelakat pendek, suatu perjanjian yang berisi tentang beberapa hal yakni :
Perang periode keempat tahun 1896-1904
Belanda sudah melaksanakan perang dengan berbagai strategi dari pemimpin perang yang berbeda pula. Tetapi pertahanan Aceh masih sulit dihancurkan bahkan semangat juang masyarakat Aceh semakin membara. Oleh karena itu Belanda berusaha menyelidiki rahasia dari kekuatan besar Aceh terutama yang menyangkut kehidupan sosial budayanya. Dr. Snouck Hurgrunje yang faham tentang agama islam dan pernah bergaul dengan orang-orang Aceh yang naik haji, oleh pemerintah Hindia Belanda dipandang sebagai orang yang tepat untuk diberi tugas memecahkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi Belanda dalam menakhlukkan Aceh.
Sejak tahun 1890 Snouck Hurgronje mempelajari masyarakat Aceh. Ia juga pernah bermukim secara rahasia di Mekkah, dapat menguasai bahasa Arab serta sejarah dan ajaran-ajaran islam. Pada tahun 1889 menjabat sebagai Penasihat Pemerintahan Agung Hindia Belanda untuk urusan Arab dan pribumi. Snouck Hurgronje juga yang merintis politik devide et impera di kalangan umat Islam dan juga politik menjinakkan watak Islam. Hurgronje memberikan nasihat kepada pemerintah Hindia Belanda selama perang Aceh supaya memecah belah persatuan antara kaum Ulebalang dan kaum ulama. Mereka harus di isolir satu sama lain. Bersamaan dengan usaha memecah belah itu, kaum Ulebalang secara militer harus didesak. Apabila ada dari kaum tersebut yang memberontak maka harus dihancurkan dan kaum Ulebalang yang lemah harus dirangkul. Demikian pula dengan kaum ulama, harus dilakukan penidasan militer tanpa ampun, sambil menyalurkan ajaran-ajaran islam hanya pada bidang ubudiyah saja. Ajaran-ajaran islam tentang peperangan dan kenegaraan harus dimatikan.
Snouck Hurgronje juga memberi saran kepada pemerintah Hindia Belanda supaya menggempur semua pemimpin aceh yang mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Untuk menjaga keamanan Aceh Besar di setiap segi ditempatkan pasukan mobil. Ekspedisi di Aceh Besar dipimpin oleh Van Der Heyden dibantu oleh Van Heutz. Ofensif yang dilakukannya memaksa pemimpin Aceh untuk lari ke Pidie, antara lain Panglima Polim, Teuku Umar, dan pengikutnya. Strategi ofensif itu diteruskan waktu Van Heutz diangkat sebagai gubernur Aceh. Strategi itu sesuai dengan apa yang disarankan Snouck Hurgronje dan bertahun-tahun mereka perjuangkan.
Waktu diadakan operasi Pidie, didaerah pantai Timur muncul gerakan Teuku Tapa, seorang dari Gayo yang bertindak sebagai orang keramat dan berhasil menarik pengikut besar-besaran. Dicanangkannya pula perang sabil. Pada bulan juni 1898 diadakan rapat para pemimpin perang dimana Teuku Umar dipilih menjadi pemimpinnya. Operasi Van Heutz memaksa pihak Aceh lebih bersikap defensif dengan menghindari konfrontasi. Pada waktu menyerang Belanda di Meulaboh (1889) Teuku Umar gugur.
Sultan Muhammad Daud Syah sangat sulit untuk ditaklukkan oleh Belanda. Oleh karena itu, Belanda menggunakan taktik baru yaitu dengan menculik istri Sultan. Dengan memberi tekanan-tekanan keras kepada Sultan, akhirnya Sultan Muhammad Daud menyerah kepada Belanda tahun 1903. Cara yang sama juga dilakukan Belanda untuk menangkap Panglima Polim. Isteri, ibu dan anak-anak panglima Polim diculik oleh Belanda, kemudian Belanda menekan Panglima Polim terus-menerus. Akhirnya karena keadaan sudah mendesak maka panglima Polim dengan sisa pasukannya yang berjumlah 150 orang terpaksa menyerah kepada Belanda pada tanggal 6 september 1903.
Laskar Aceh semakin terdesak terus, Meurado, Samalangan, Pensangan, Batu merah dan Batu illie jatuh ke tangan Belanda. Beberapa rentetan peristiwa mulai dari gugurnya para pemimpin perang sampai menyerahnya para penglima dan Sultan Aceh kepada pihak Belanda perlahan-lahan membuat pertahanan laskar Aceh lemah bahkan benar-benar sulit untuk bangkit dan kuat seperti dahulu. Kesempatan tersebut digunakan pemerintah Hindia Belanda untuk menanamkan kekuasaan di seluruh wilayah Aceh . Peristiwa menyerahnya para pemimpin perang dan Sultan Aceh serta melemahnya kekuatan laskar Aceh sekaligus menandakan berakhirnya perang Aceh.
Setelah perang Aceh berakhir, maka kerajaan Aceh didikat oleh pemerintah Hindia Belanda dengan jalan menandatangani pelakat pendek, suatu perjanjian yang berisi tentang beberapa hal yakni :
- Tiap-tiap swapraja harus mengakui kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.
- Raja tidak boleh berhubungan dengan pemerintah asing lain.
- Perintah pemerintah Belanda harus dijalankan (Wiharyanto,2006:163-164).
Walaupun Belanda sudah berhasil menguasai seluruh Aceh dan menundukkan Sulatan aceh, tetapi rakyat Aceh masih tetap mengadakan perlawanan terhadap Belanda walaupun hanya perlawana dalam skala yang lebih kecil.
Dampak Perang Aceh bagi Pemerintah Hindia Belanda dan Aceh
Perang aceh merupakan perang berat dan paling lama yang dihadapi oleh pemerintah Hindia Belanda maupun pihak Aceh sendiri. Walaupun kekuatan Aceh pada abad ke 19 tidak sehebat Aceh pada abad sebelum-sebelumnya, tetapi semangat juang rakyat Aceh tidak pernah menyurut dan persatuan antar seluruh lapisan masyarakat baik dari golongan ulama, ulebalang maupun rakyat biasa terjalin dengan baik demi kelancaran perlawanan kepada pihak Belanda. Oleh karena itu perang Aceh membawa dampak bagi Belanda maupun Kerajaan Aceh.
Dampak perang Aceh bagi Belanda
Dampak perang Aceh bagi Belanda
a. Waktu perang Aceh yang sangat lama yakni sekitar tahun 1873-1904 sangat menguras kas keuangan Belanda dan juga menimbulkan jatuhnya banyak korban dari pihak Belanda. Bahkan panglima perang Belanda untuk perang Aceh yang pertama yakni Kohler juga gugur dalam penyerangan.
b. Belanda dapat mengetahui kelemahan dari pertahanan rakyat Aceh. Yakni lewat penyelidikan yang dilakukan oleh Dr. Snouck Hurgronje. Akhirnya dapat diketahui bahwa peran ulama dan bangsawan sangat penting bagi persatuan rakyat Aceh.
c.Walaupun Belanda harus berjuang bertahun-tahun dalam melakukan penyerangan guna menakhlukkan Aceh, namun pada akhirnya Aceh berhasil dikuasai oleh Belanda.
Dampak perang Aceh bagi kerajaan Aceh
a. Menguatnya rasa persatuan dan kesatuan diseluruh lapisan masyarakat Aceh.Pertempuran yang berlangsung terus-menerus membuat rasa persatuan laskar Aceh semakin terjalin kuat. Apalagi para ulama yang mengobarkan semangat perang sabil diantara laskar Aceh membuat rakyat stidak gentar dalam menghadapi Belanda.
b. Jatuh banyak korban dipihak Aceh
Perang yang berlangsung selama kurang lebih 33 tahun, membuat jatuhnya banyak korban dari pihak Aceh juga gugurnya beberapa panglima Perang Aceh. Hal tersebut juga didorong oleh semangat perang sabil yang berkobar di hati para pejuang Aceh. Pada tanggal 14 juni 1904 terjadi pembunuhan masal di Kuta Reh yang merupakan siasat dari Van daalen. Korban dari rakyat Aceh sekitar 2922 orang yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan. Peristiwa tersebut semakin menabah besarnya jumlah korban perang Aceh.
c. Jatuhnya seluruh Aceh ke tangan Pemerintah Hindia Belanda
c. Jatuhnya seluruh Aceh ke tangan Pemerintah Hindia Belanda
Perang Aceh diakhiri dengan kemenangan dipihak Belanda. Setelah berhasil menguasai seluruh Aceh, jenderal Hindia Belanda untuk Aceh, yakni Van Heutz memaksa Sultan Aceh untuk menandatangani perjanjian yang berisi tentang pengakuan kedaulatan Hindia Belanda oleh Aceh dan sultan aceh harus tunduk dengan perintah Belanda. hal tersebut sudah menghilangkan hak Aceh untuk merdeka.
Begitulah sekeping sejarah dari negri serambi mekah dalam memperjuangkan kemerdekaan dan keimanannya. Ratusan, ribuan bahkan jutaan nyawa telah terkorban demi sebuah cita-cita yang mulia. Yaitu berdirinya sebuah negara yang merdeka dan berdaulat dengan di landasi oleh keimanan. Perang Sabil ini telah memberikan kita banyak pelajaran betapa pentingnya persatuan dan kesatuan. Maka sungguh tepatlah pepatah dulu yang mengatakan "Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh". Aceh telah menjadi singa yang lapar menerjang musuh-musuhnya dengan begitu hebatnya, membuat Belanda kesulitan menghadapi setiap serangan-serangannya, menunjukan betapa kuatnya Aceh saat itu. Namun disaat ketamakan dan keegoisan mengisi hati, terpecah belah oleh rayuan maut sang penjajah, maka hancurlah cita-cita yang mulia, terinjak-injak oleh kesombongan sang penista Agama.
Trailer Perang Sabil
Hikayat Prang Sabil
lengkap sekali info nya kak
ReplyDeletemy axis app